Daily Archives: Maret 15, 2012

Pembelajaran Bagi Anak dengan Ketunanetraan


Pembelajaran bagi anak tunanetra adalah sebaiknya berpusat pada apa, bagaimana, dan dimana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan dengan kelainannya.
Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip tentang metode khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan anak dimana pembelajaran akan dilakukan.

Pembelajaran dalam kurikulum inti yang diperluas
Terdapat dua set kebutuhan kurikulum untuk siswa tunanetra, yang pertama adalah kurikulum yang diperuntukkan untuk siswa pada umumnya dan yang kedua adalah kurikulum inti yang diperluas. Kurikulum inti yang diperluas ini misalnya terdapat keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karier. Kelemahan kurikulum inti yang diperluas ini adalah terbatasnya waktu pengajaran.
Mempergunakan prinsip-prinsip dan metode khusus
Anak tunanetra membutuhkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus mereka. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metode khusus untuk membantu mengatasi ketunanetraan, antara lain:
1. Membutuhkan pengalaman nyata
Guru perlu memberikan kesematan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya melalui ekslorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda yang ada di sekitarnya dengan menggunakan indera-indera lainnya. Bagi siswa low vision aktivitas ini merupakan tambahan bagi eksplorasi visual yang dilakukan. Media yang digunakan adalah benda-benda nyata atau model.
2. Membutuhkan pengalaman menyatukan
Dengan menggunakan pembelajaran gabungan, guru akan mengajarkan menghubungkan mata pelajaran akademis dengan dengan pengalaman kehidupan nyata. Hal ini bertujuan agar siswa dapat lebih mudah menyatukan hubungan antara konsep teori dengan praktek dalam kehiduan sehari-harinya.
3. Membutuhkan belajar sambil bekerja
Dengan memberikan kesempatan praktek terhadap siswa tunanetra, maka keterampilan siswa tunanetra dapat dikembangkan dengan lebih maksimal. Dalam kurikulum inti yang diperluas terdapat bidang seperti orientasi dan mobilitas, ini dapat dipelajari dengan lebih mudah oleh siswa tunanetra dengan pendekatan belajar sambil bekerja.
Ada beberapa hal yang dapat diberikan kepada siswa sehubungan dengan adanya kekurangan siswa dalam hal penglihatan (tunanetra). Kebutuhan-kebutuhan ini sangat membantu siswa tunanetra dalam menjalankan pendidikannya, antara lain:
a. Alat Pendidikan
1. Tunanetra (blind)
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat peraga.
a) Alat Pendidikan Khusus :
Mesin tik Braille
Printer Braille
b) Alat Bantu
Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c) Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2. Low Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari alat bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat peraga.
a) Alat Bantu Optik :
Kaca mata
Kaca mata perbesaran
Hand magnifier / kaca pembesar
b) Alat Bantu
Kertas bergaris besar
Spidol hitam
Lampu meja
Penyangga buku
c) Alat Peraga
Gambar yang diperbesar
Benda asli yang diawetkan
Patung / benda model tiruan
b. Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
1. Guru
2. Psikolog
3. Dokter mata
4. Optometris
c. Model Pendidikan
1. Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalah pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik. Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalah kurikulum yang fleksibel yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
2. Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3. Guru Kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.

Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan


Anak-anak tunanetra kehilangan masa belajar dalam hidupnya. Anak tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan lingkungannya, kesulitan dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta mengalami kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang dikhawtirkan akan memberikan dampak 

Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang berfariasi. Lowenfield menggambarkan dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga area, antara lain :
1. Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar, walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.
2. Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tapi tuan netra mepunyai keterbatasan untuk melakukan gerak tersebut. Keterbatasan tersebut menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan sekitar mereka. Dengan segala keterbatasan mereka, anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan orientasi dan mobilitas
3. Interaksi dengan lingkungan
Jika seorang yang normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali keadaan ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tidak utuh
Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan  dengan mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing  
Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten . Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang tepat.
Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan kebutuhannya sehari-harnya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya apabila hal ini terjadi maka siswa akan cenderung berlaku pasif.
Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Sebagai contoh mereka sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Beberapa teori mengungkapkan bahwa anak tunanetra mengembangkan perilaku stereotip mereka akibat tidak ada rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan sebagainya.

Penyebab Tunanetra


Ketunanetraan sangat bervariasi tergantung lokasi geografis, status sosio ekonomi dan usia. Secara umum sebetulnya bisa dicegah dan diatasi, trachoma merupakan penyebab utama timbulnya kebutaan di Negara-negara berkembang. Banyak organisasi yang berhubungan dengan kesehatan mempunyai program pencegahan kebutaan. Mereka bekerja diperkampungan dan daerah-daerah kemiskinan dengan tujuan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan, kesehatan, dan akses untuk memperoleh pengobatan. Diabetes, Glaucoma, dan katarak merupakan penyebab umum kebutaan di Negara-negara barat. Hal ini terjadi karena usia harapan hidup mereka lebih panjang dari genersi sebelumnya, usia berhubungan dengan daya penglihatan.

Secara umum, ada dua faktor penyebab terjadinya tunanetra yaitu :
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain: 
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh: 
1. Gangguan waktu ibu hamil.
2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2. Post- natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan. 
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: 
1. Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll. 

Tunanetra


Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990:971) Tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra (Depdikbud, 1990: 613) artinya mata. Tunanetra berarti rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. 
Menurut Alana M. zambone, Ph.D., dalam bukunya yang berjudul Teaching Children With Visual and Additional Disabilities (Alana, 1992: 59) seseorang dikatakan buta total bila tidak mempunyai bola mata, tidak dapat membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa yang dilihat pada otaknya yang masih berfungsi.

Menurut Nakata (2003) mengemukakkan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar. Pengukuran ketajaman penglihatan dilakukan dengan mempergunakan chart internasional yang disebut eyesight-test.
Sedangkan Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan ”Low vision”.
Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kehilangan penglihatan:
1. Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan).
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur:
Ketajaman penglihatan (visual acuity)
Medan pandang (visual field).
Cara yang paling umum untuk mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan Snellen Chart yang terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya.
2. Definisi Edukasional/Fungsional 
Dua orang yang mempunyai tingkat ketajaman penglihatan yang sama dan bidang pandang yang sama belum tentu menunjukkan keberfungsian yang sama. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang ketajaman penglihatan saja tidak cukup untuk memprediksikan bagaimana orang akan berfungsi – baik secara penglihatannya maupun pada umumnya. Pengetahuan tersebut juga tidak cukup mengungkapkan tentang bagaimana orang akan menggunakan penglihatannya yang mungkin masih tersisa. Bila seseorang masih memiliki sisa penglihatan, betapapun kecilnya, akan penting bagi orang tersebut untuk belajar mempergunakannya. Hal tersebut biasanya akan mempermudah baginya untuk mengembangkan kemandirian dan pada gilirannya akan membantu meningkatkan kualitas kehidupannya.
Definisi legal biasanya juga tidak memadai untuk menunjukkan apakah seseorang akan mampu membaca tulisan cetak atau apakah dia perlu belajar Braille, mempergunakan rekaman audio (buku, surat kabar, artikel dll.) atau kombinasi media-media tersebut. Merupakan hal yang penting bahwa definisi seyogyanya memberikan indikasi yang fungsional. Dengan kata lain, definisi seyogyanya membantu kita memahami bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan orang yang bersangkutan.
Definisi edukasional mengenai ketunanetraan lebih dapat memenuhi persyaratan tersebut daripada definisi legal, dan oleh karenanya dapat menunjukkan:
a. Metode membaca dan metode pembelajaran membaca yang mana yang sebaiknya dipergunakan;
b. Alat bantu serta bahan ajar yang sebaiknya dipergunakan;
c. Kebutuhan yang berkaitan dengan orientasi dan mobilitas.
Secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.
Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan.
Seseorang dikatakan tunanetra berat (blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan atau hanya memiliki persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus menggunakan indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca” melalui pendengaran.
Seseorang dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu optik dan modifikasi lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan dan indera-indera lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print) dengan atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille atau menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung pada faktor-faktor seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya, tugas yang dihadapinya, dan karakteristik pribadinya.
Selain itu, tunanetra juga dapat dibagi berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, hal ini terbagi menjadi:
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri. 

Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Data yang dikeluarkan oleh WHO (2011) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 284 juta orang tunanetra di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Dapartemen Kesehatan Indonesia tahun 2000 angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen. Angka ini menempatkan Indonesia untuk masalah kebutaan di urutan pertama di Asia dan nomor dua di dunia setelah negara-negara di Afrika Tengah sekitar Gurun Sahara. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penyandang low vision dinegara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya adalah 3x lipat jumlah orang buta. Ini berarti jumlah keseluruhan tunanetra di Indonesia kurang lebih enam peersen dari jumlah penduduk Indonesia (berkisar 220.000.000) yaitu kurang lebih 12 juta.

Makalah Tunarungu II


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Pengertian Anak Tunarungu
Menurut Hallahan dan Kauffman (1982 : 234) memberikan batasan tentang tunarungu di tinjau dari kehilangan kemampuan mendengarnya, bahwa :
Hearing impairment. A genetic term indicating a hearing disabiliti that range insevety from milk to profound in includis the subsets deaf and hard of hearing. Deaf person in one whos hearing disability precludes successful processing of linguistic information though audio, with or without a haering aid, has residual hearing sufficient to enable sucxessful processing of linguistic information thoght audition.
Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran.
Kemudian Donald F Moores menjelaskan pengertian tuna rungu dalam bukunya Education the deaf (Psychology principles and practices) Hougtoh Miflin Company, Boston (1981: 3) sebagai berikut :
A deaf person is one whose hearing is disabled to exten (usually 70 dB ISO grather ) that precluds the understanding of speech through the earlone without or with the use of hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing is disabled to an exten ( usually 35 to 69 dB ISO ) That makes difficult but dose not preclude the understanding of speech through the ear alone with  out our with a hearing aid.
Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebakan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1).
Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melauli pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar.
Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa tunarungu adalah suatu istilah umun yang menunjukan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat dan di golongkan kedalam bagian tuli dan kurang dengar.
 Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga tidak dapat memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu dengar. Sedangkan orang kurang dengar adalah seseorang yang pada umumnya menggunakan alat bantu dengar sisa pendengarannya  cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami hambatan dalam mendengar  yang di sebabkan karena tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan  alat pendengaran sehingga anak memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus agar dapat mengembangkan bahasa serta potensi yang dimiliki anak seoptimal mungkin.
Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Denagn demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.
B.       Penyebab Ketunarunguan
Banyak faktor yang menyebakan seseorang mengalami ketunarunguan, sebagaimana diungkapkan dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan Sekolah Luara Biasa bagian B atau tuna rungu, Depdikbud (1985: 23) mengemukakan bahwa :
a.         Sebelum anak dilahirkan atau masih dalam kandungan (masa prenatal)
b.         Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (neo natal).
c.         Sesudah anak dilahirkan (post natal).
Penyebab ketuna runguan tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1)        Masa Prenatal
Pada masa prenatal pendengaran anak menjadi tuna rungu disebakan oleh:
a.         Faktor keturunan atau hereditas
Anak mengalami tuna rungu sejak dia dia dilahirkan Karena ada di antara keluarga ada yang tuna rungu genetis akibat dari rumah siput tidak berkembang secara normal, dan ini kelainan corti (selaput-selaput)
b.        Cacar air, campak (rubella, german measles)
Pada waktu ibu sedang mengandung menderita penyakit campak, cacar air, sehingga anak yang di lahirkan menderita tunarungu mustism (tak dapat bicara lisan)
c.         Toxamela (keracunan darah)
Apabila ibi sedang mengandung menderita keracunan darah (toxameia) akibatnya placenta menjadi rusak. Hal ini sangat berpengaruh pada janin. Besar kemungkinan anak yang lahir menderita tuna rungu. Menurut Audiometris pada umumnya anak ini kehilangan pendengaran 70-90 dB.
d.        Penggunaan obat pil dalam jumlah besar
Hal ini akibat menggugurkan kandungan dengan meminum banyak obat pil pengggugur kandngan, tetapi kandunganya tidak gugur, ini dapat mengakibatkan tuna rungu pada anak yang dilahirkan, yaitu kerusakan cochlea.
e.         Kelahiran premature
Bagi bayi yang dilahirkan premature, berat badanya di bawah normal, jaringan-jaringan tubuhnya lemah dan mudah terserang anoxia (kurangnya zata asam). Hal ini merusak inti cochlea (cochlear nuclei)
f.         Kekeurangan Oksigen (anoxia)
Anoxia dapat mengakibatkan kerusakan pada inti brain system dan bagal ganglia. Anak yang dilahirkan dapat menderita tuna rungu pada taraf berat.
2)        Masa Neo Natal
a.         Faktor rhesus ibu dan anak tidak sejenis.
Manusia selain mempinyai jenis darah A-B-AB-0. Juga mempunyai jenis darah factor rh positif dan negative. Kedua jenis rh tersebut masing-masing normal. Tetapi ketidak cocokan dapat terjadi apabila seseorag perempuan ber-rh negatif kawin dengan seseorang laki-laki ber-rh positif, seperti ayahnya tidak sejenis dengan ibunya. Akibat sel-sel darah itu membentuk anti body yang justru merusak anak. Akibatnya anak menderita anemia (kurang darah) dan sakit kuning setelah dilahirkan, hal ini dapat berakibat anak menjadi kurang pendengaran.
b.        Anak lahir premature atau sebelum 9 bulan dalam kandungan. Anak yang dilahirkan prematur, mempunyai gejala-gejala yang sama dengan anak yang rh nya tidak sejenis dengan rh ibunya, yaitu akan menderita anemia dan mengakibatkan anoxia.
3)        Post Natal
a.         Sesudah anak lahir dia menderita infeksi misalnya campak (measles) infection atau anak terkena syphilis sejak lahir karena ketularan orang tuanya. Anak dapat menderita tunarungu perseptif. Virus akan menyerang cairan cochlea.
b.        Meningitis (peradangan selaput otak)
Penderita meningitis mengalami ketulian yang perseptif, biasanya yang mengalami kelainan ialah pusat syarf pendengaran.
c.         Tuli perseptif yang bersifat keturunan.
Ketunarunguan ini akibat dari keturunan orang tuanya
d.        Otitis media yang kronis.
Cairan otitis media yang kekuning-kuningan menyebakan kehilanagn pendengaran secara konduktif. Pada secretory media akibatnya sama dengan kronis atitis media, yaitu keturunan konduktif
e.         Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.
Infeksi pada alat-alat pernafasan, misalnya pembesaran tonsil adenoid dapat menyebabkan ketuna runguan konduktif (media penghantar suara tidak berfungsi).
f.         Kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian dalam
Dari beberapa faktor yang telah dijabarkan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa penyebab ketunarunguan tidak saja dari faktor dalam individu seperti ketuna runguan dari orang tua atupun pada saat ibu mengandung terserang penyakit. Tetapi faktor di luar diri individu mempunyai peluang yang mengakibatkan seseorang mengalami ketuna runguan, seperti infeksi peradangan dan kecelakaan.
C.      Klasifikasi Ketunarunguan
Menurut Hallahan dan Kauffman klasifikasi ketunarunguan berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran di bagi kedalam dua kelompok besar yaitu tuli (deaf)  dan kurang dengar (hard of hearing).
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Streng yang dikutip Somad dan Hernawati ( 1997 : 28-31 ) sebagai berikut:
a.       Mild Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB yang  memiliki ciri- ciri :
1.      Sukar mendengar percakapan yang lemah.
2.      Menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah tentang     kesulitannya.
3.      Perlu latihan membaca ujaran dan perlu diperhatikan perkembangan        penguasaan perbendaharaan kata.
b.      Marginal Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-30 dB yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter.
2.      Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran pada jarak normal dan  kadang-kadang mereka mendapat kesulitan dan menangkap percakapan kelompok.
3.      Mereka akan sedikit mengalami kelainan bicara dan perbendaharaan kata yang terbatas.
4.      Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain belajar membaca, penggunaan alat bantu dengar, latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian dalam perkembangan perbendaharaan kata.
c.       Moderat loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 40-60 dB yang   memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Mereka mengerti percakapan keras pada jarak satu meter.
2.      Perbendaharaan kata terbatas
d.      Severa loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 60-70 dB. Memiliki ciri-ciri :
Mereka masih biasa mendengar suara keras dari jarak yang dekat misalnya klakson mobil dan lolongan anjing. Mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu. Diperlukan latihan membaca ujaran dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru kelas khusus.
e.       Profound loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 75 dB keatas. Memiliki ciri :
Mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24 cm) atau sama sekali tidak mendengar walaupun menggunakan alat bantu dengar.
Menurut buku pendidikan anak tuna rungu untuk sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa ( SGPLB ) menyebutkan, bahwa ada klarifikasi ketuna runguan yang didasarkan klasifikasi etiologis, klasifikasi anatomos fisiologis, menurut nada yang tak dapat didengar dan menurut saat terjadinya ketuna runguan, Depdikbud ( 1977 : 8 ).
1.      Klasifikasi etilogis
1.      Tuna rungu endogen adalah suatu ketunarunguan yang diturunkan oleh orang tuanya
2.      Tuna rungu eksogen adalah ketunarunguan yang diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan.
2.      Klasifikasi anatomis-fisikologis
1.      Tuna rungu hantaran (konduksi) adalah ketunarunguan yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat penghantar getaran pada telinga bagian bawah.
2.      Tuna rungu syaraf (perseptif) adalah ketunarunguan sebagai akibat dari kerusakan atau tidak berfungsinya alat pendengarn telinga bagian dalam.
3.      Menurut nada yang tak dapat di dengar
1.      Tuna rungu nada rendah
2.      Tuna rungu nada tinggi
3.      Tuna rungu total
4.      Menurut terjadinya ketunarunguan
1.      Tuna rungu yang terjadi saat dalam kandungan (prenatal)
Ketunarunguan terjadi akibat keracunan makanan, kekurangan gizi, pengaruh obat obatan dan infeksi virus yang dialami pada masa triwulan pertama menimbulkan kerusakan syaraf, dan jaringan otak.
2.      Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (natal)
Segala bentuk ganguan pada saat bayi lahir seperti :
Prematuresasi, pinggul sempit, lahir dengan porceps dan berbagai kesulitan saat kelahiran dapat menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan otak.
3.      Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (post natal)
Dapat terjadi akibat peradangan selaput otak infeknsi telinga tengah, peradangan gendang telinga dan sebagainya.
Kemudian di dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa bagian B atau tunarungu, Depdikbud ( 1985 : 20-21 ) dibuat klasifikasi anak tuna rungu sebagai berikut
1.      Ditinjau dari tingkat kehilanagn pendengaran dalam satuan ukuran bunyi ( deciblell/Db ) tuna rungu dibedakan atas :
a.       Mereka yang kehilangan pendengaran 90 dB atau lebih (golongan tuli). Batas 90 dB diambil sebagi patokan karena pada tingkat kehilanagn yang demikian si penderita tak akan mampu lagi untuk mendengar suara sendiri.
b.      Mereka yang kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB (golongan kurang dengar).
        Kehilanagn pendengaran antara 35-34 dB, termasuk kurang dengar ringan.
        Kehilangan pendengaran antara 55-69 dB, termasuk kurang dengar sedang.
2.      Ditinjau dari waktu kehilangan pendengaran dibedakan atas:
a.       Tuli prabahasa yaitu kehilangan pendengaran, waktu anak berumur kurang dari 2 tahun sebelum menguasai bahasa.
b.      Tuli purna bahasa yaitu kehilangan pendengaran waktu anak berumur lebih dari 4 tahun, setelah menguasai berbagi bahasa.
Berdasarkan beberapa tinjauan di ats maka anak tuna rungu dalam perkembanganya memerlukan program khusus dalam bimbingan dan pendidikanya.
Diperlukan teknik khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil, kinestetiok serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan bicara dan bahasanya.
Dari beberapa batasan yang terangkum di atas dapat di simpulkan bahwa tunarungu adalah seseorang yang mengalami kerusakan organ pendengaran baik ringan ataupun berat yang akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari  dan pada akhirnya memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mendapat kehidupan yang layak.
Istilah tunarungu adalah semua bagi orang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar. Meskipun demikian penyandang tunarungu itu sendiri tingkatnya berbeda, ada yang ringan sedang dan berat.
D.      Karakteristik Anak Tunarungu
Semua individu memiliki karakteristik tertentu demikian pula anak-anak yang mengalami ketunarunguan dan dampak yang paling mencolok yaitu terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara, mereka terbatas dalam kosa kata dan pengertian kata-kata yang abstrak. Hal ini karena mereka hanya memanfaatkan penglihatan dalam belajar bahasa. Belajar bahasa hanya melalui penglihatan memiliki banyak kelemahan-kelemahan sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan intelegensinya secara maksimal, akibatnya mereka tampak bodoh.
Perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan bahasa anak normal sekitar usia enam bulan anak mencapai pada tahap meraban. Pada perkembangan ini semua anak mengalaminya karena merupakan awal untuk belajar bahasa.
Anak yang sejak lahir mengalami ketunarunguan, pada saat bayi mengulang-ulang bunyi bayi tidak dapat mendengar bunyi yang dikeluarkan begitu pula ia tidak dapat mendengar respon yang dikeluarkan oleh orang tua atau orang-orang yang dekat darinya.
Ada beberapa perbedaan karakteristik anatara anak tunarungu dengan anak normal. Hal ini disebabkan keadaan mereka yang sedemikian rupa sehingga mempunmyai karakter yang khas yang menyebabkan anak tunarungu mendapatkan kesulitan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga mereka perlu mendapat pembinaan yang khusus untuk mengatasi masalah ketunarunguan.
Karakteristik yang khas dari anak tunarungu adalah sebagai berikut:
1.      Fisik
Jika dibandingkan dengan kecacatan lain nampak jelas dalam arti tidak terdapat kelainan. Tetapi bila diperhatiakan lebih teliti mereka mempunyai karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Tati Hernawati (1990 : 1) sebagai berikut :
a.       Cara berjalan kaku dan agak membungkuk hal ini terjadi pada anak tunarungu yang mempunyai kelainan atau kerusakan pada alat keseimbangannya.
b.      Gerakan mata cepat yang menunujukan bahwa ia ingin menguasai lingkungan sekitarnya.
c.       Gerakan kaki dan tangan yang cepat.
d.      Pernapasan yang pendek dan agak terganggu. Kelainan pernapasan terjadi karena tidak terlatih terutama pada masa meraban yanmg merupakan masa perkembangan bahasa.
2.      Bahasa dan Bicara
Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Dengan kondisi yang disandangnya anak tunarungu akan mengalami hambatan dalam bahasa dan bicaranya. Pada anak tunarungu proses penguasaan bahasa tidak mungkin diperoleh melalui pendengaran. Dengan demikian anak tunarungu mempunyai ciri-ciri perkembangan bahasa sebagai berikut:
1.      Fase motorik yang tidak teratur.
Pada fase ini anak melakukan gerakan-gerakan yang tidak teratur, misalnya :
       Gerakan tangan.
       Menangis. Menangis permulaan adalah gerak refleks dari bayi yang baru lahir. Menangis sangat penting bagi perkembangan selanjutnya karena dengan menangis secara tidak sengaja sudah melatih otot-otot bicara, pita suara dan paru-paru.
2.      Fase meraban (babbling)
Mimik perangai ibu

Bayi babling

 

Pada awal fase meraban (babling) tidak terjadi hambatan karena fase meraban ini merupakan kegiatan alamiah dari pernapasan dan pita suara.
Bayi babling

Bayi meniru

 

Mula-mula bayi babling, kemudian ibu meniru. Tiruan itu terdengar oleh bayi dan ditirukan kembali. Peristiwa inilah yang mkenjadi proses terpenting dalam pembinaan bicara anak. Bagi anak tunarungu tidak terjadi pengulangan bunyinya sendiri, karena anak tunarungu tidak mendengar tiruan ibunya. Dengan demikian perkembangan bicara selanjutnya menjadi terhambat.
3.      Fase penyesuaian diri.
Orang tua bicara

Bayi meniru

 

Suara-suara yang diujarkan orang tua dan ditiru oleh bayi kemudian ditirukan kembali oleh orang tuanya secara terus menerus. Pada anak tunarungu hal tersebut terbatas pada peniruan penglihatan (visual) yaitu gerakan-gerakan atau isyarat-isyarat, sedangkan peniruan pendengaran (auditif) tidak terjadi karena anak tunarungu tidak dapat mendengar suara.
Tiga faktor yang saling berkaitan antara ketidakmampuan bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran menurut Daniel F. Hallahan dan James M. Kauffman yang dikutip oleh Andreas Dwijosumarto (1990 : 2) adalah sebagai berikut :
1.        Penerima auditori tidak cukup sebagi umpan balik ketika ia membuat suara.
2.        Penerimaan verbal dari orang dewasa tidak cukup menunjang pendengarannya.
3.        Tidak mampu mendengar contoh bahasa dari orang mendengar.
Ciri khusus anak tunarungu berkenaan dengan bahasanya adalah miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung arti kiasan. Sedangkan ciri-ciri anak tunarungu  berkenaan dengan bicaranya adalah nada bicaranya tidak beraturan, bicaranya terputus-putus akibat dari penguasaan kosa kata yang terbatas, dalam bicara cenderung diikuti oleh gerakan-gerakan tubuh serta sulit menguasai warna dan gaya bahasa.
3.      Intetelegensi
Secara garis besar pendapat tentang intelegensi anak tunarungu di klasifikasikan menjadi tiga bagian.
1.   Pertama anak tunarungu dianggap sama dengan anak normal (YukeSiregar, 1981 : 2 )
2    Kedua, dianggap bahwa  intelegensi anak tunarungu lebih rendah dari anak normal .
3    Bahwa anak tunarungu mengalami kekurangan potensi intelektual pada segi non verbal.
4.      Kepribadian dan emosi.
Semua anak memerlukan perhatian dan dapat diterima di lingkungan yang di tempati. tidak terkecuali anak tunarungu, tetapi semua itu akan sulit didapatkan oleh anak tunarungu karena mereka hanya dapat merasakan ungkapan tersebut melalui kontak visual. Berbeda dengan anak normal yang dapat merasakan ungkapan yang diberikan melalui nada suara yang diperoleh dengan cara mendengar. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan emosi anak tunarungu. Karena keadaanya itu anak tunarungu merasa terasing dan terisolasi dari lingkungannya. Sering terjadi, ketidak mampuan mereka dalam berkomunikasi mengakibatkan suatu kekurangan dalam keseluruhan pengalaman anak yang sebenarnya dasar bagi perkembangan, sikap dan kepribadian.
Beberapa sifat yang terjadi pada anak tunarungu akibat dari kekurangannya  adalah :
1.       Sifat egosentris yang lebih besar daripada aanak normal, dunia penghayatan mereka lebih sempit maka akan lebih terarah pada dirinya sendiri. Sifat egosentis ini berarti :
          Sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan pada perasaan orang  lain.
          Dalam perilakunya sering di kuasai oleh perasaan dan pikiran sendiri   mereka sulit menyusuaikan diri.
2.       Mempunyai perasaan takut akan hidup.
3.       Sikap ketergantungan kepada orang lain.
4.       Perhatian yang sukar di alihkan.
5.       Kemiskinan dalam bidang fantasi.
6.       Sifat yang polos, sederhana tanpa banyak problem.
7.       Mereka dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.
8.       Lekas marah dan cepat tersinggung.
9.       Kurang mempunyai konsep tentang relasi atau hubungan.
5.      Sosial
Setiap manusia memerlukan interaksi dengan lingkungannya. Untuk dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya di perlukan kematangan sosial. Yuke R Siregar (1986 : 26 ) mengemukakan tentang saran untuk mencapai kematangan sosial, yaitu:
1.       Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kekhasan dalam masyarakat.
2.       Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan kemampuannya.
3.       Mendapatkan kesempatan dalam hubungan sosial.
4.       Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman.
5.       Struktur kejiwaan yang sehat yang mendorong motivasi yang baik.
Karena kondisi yang dialami oleh anak tunarungu sulit untuk mencapai kematangan oleh karenanya tidak jarang lingkungan memperlakukan mereka dengan tidak wajar. Hal ini akan menyebabkan mereka cenderung memiliki rasa curiga pada lingkungan, memiliki perasaan tidak aman dan memiliki kepribadian yang tertutup, kurang percaya diri, menafsirkan sesuatu secara negatif, memiliki perasaan rendah diri dan merasa disingkirkan, kurang mampu mengontrol diri dan cenderung mementingkan diri sendiri.
E.    Prinsip Pembelajaran Umum Dan Khusus Pada Anak Tunarungu
a.    Prinsip pembelajaran umum agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara aktif dan efesien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip secara umum sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku pada siswa pada umumnya, namun demikian, karena di dalam kelas inklusi terdapat siswa berkelainan yang mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan sensor isneurologis dibanding dengan siswa pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif disamping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai  dengan kelainan siswa.
Prinsip-prinsip umum pada pembelajaran anak tuna rungu adalah:
1)        Prinsip motivasi guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada anak agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2)        Prinsip latar/konteks guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakancontoh, memanfaatkan sumber belajar yang di lingkungan sekitar, dan maksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulanganmateri pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi siswa.
3)        Prinsip keterarahan setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harusmerumuskan tujuan secara jelas menetapkan bahan dan alat yangsesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
4)        Prinsip hubungan sosial dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
5)        Prinsip belajar sambil bekerja dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan praktek/percobaan atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penilaian, dansebagainya.
6)        Prinsip individualisasi guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap siswa secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuan, kelambanannya dalam belajar, dan perilakunya sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing siswa mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
7)        Prinsip menemukan guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing siswa untuk terlibat secara aktif baik fisik, mental,sosial dan emosional.
8)        Prinsip pemecahan masalah guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan yang ada di lingkungan sekitar, dan siswa dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis dan memecahkan masalah yang sesuai dengan kemampuan. 
b.  Prinsip Pemecahan Masalah
1)        Prinsip keterarahan wajah siswa tunarungu adalah siswa yang mengalami gangguan pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut siswa tuna rungu dengan istilah ”permata”, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya. Prinsip ini menuntut guru ketika member penjelasan hendaknya menghadap ke siswa (face to face). Sehingga siswa dapat membaca gerak bibir guru, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapatmemahaminya, maka siswa diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
1)        Prinsip keterarahan suara
Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, siswa hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar siswa terutama dalam pembentukan sikap, pribadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya. Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal atau ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dikenali siswa. Demikian pula, bagisiswa yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
2)        Prinsip keperagaan
Siswa tunarungu karena mengalami ganguan oragan pendengaran,maka mereka lebih banyak menggunakan indera.
F.       Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1.         Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
2.         Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
3.         Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
4.         Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
5.         Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
6.         Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif  ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
  1. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru(seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi. Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan. Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
  1. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi
1)        Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
2)        Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
3)        Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
4)        Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
o   Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
o   Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
o   Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
o   Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
o   Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar. 
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem… brem… brem…’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut : Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup : Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara. Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong (BKPBI dan Bina Wicara. Strong). BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.
G.      Sarana Prasarana untuk peserta didik Tunarungu
Assesmen kelainan pendengaran digunakan untuk mengukur kemampuan mendengarkan, menentukan tingkat sumber bunyi, dan kekuatan bunyi.
Alat Assesmen:
        SCAN TEST (alat untuk mendeteksi pendengaran)
        BUNYI –BUNYIAN(segala alat yang dapat menimbulkan bunyi)
        GARPUTALA(pengukur tinggi nada)
        AUDIOMETER & BLANGKO AUDIOGRAM
        MOBILE SOUND PROOF
        SOUND LEVEL METER
Alat Bantu Dengar ( Hear Aid)
Untuk membantu pendengaran digunakan alat bantu berikut
        Model saku
        Model telinga belakang
        Model dalam telinga
        Model kaca mata
Untuk membantu pendengaran dalam proses pembelajaran:
        Hearing Group
        Loop Induction System
Latihan bina persepsi bunyi dan irama
          Anak  tunarungu biasanya memiliki gangguan dan hambatan dalam berkomunikasi dan bahasa. Untuk membantunya digunakan alat bantu sebagai berikut:
          Cermin, alat latihan meniup (seruling, terompet,kapas, peluit), alat musik perkusi, sikat getar, lampu aksen, meja latihan wicara, Speech and Sound Simulation, Spatel.
Alat Latihan Fisik
Untuk mengembangkan kemampuan fisik anak tunarungu. Alat – alat yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut:
Bola, net voly, bola sepak, meja tenis, raket, net bulu tangkis, suttle cock, power rider, static bycicle 

Makalah Tunarungu


BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Cacat tubuh merupakan suatu keterbatasan yang sangat mengganggu seperti cacat kaki (lumpuh) dan tangan, cacat mata, bisu dan tuli, dan kelainan anggota tubuh yang lain. Hal ini tentu saja menimbulkan respon negative baik dalam diri penderita maupun terhadap dan dari orang lain. Respon ini seolah menciptakan 2 (dua) dunia yang berbeda; yaitu dunia orang ‘normal’ dan dunia ‘cacat’. Tentu saja batasan-batasan yang ada menghasilkan jarak yang cukup jauh untuk terciptanya sebuah hubungan yang harmonis antara keduanya. Seolah dunia orang cacat menempati wadah yang kumuh, kotor dan sudah rusak dan dunia normal menempati tampat yang lebih ‘layak’, bersih, dan terjamin segala-galanya.
Pengkucilan ini merupakan respon negatif dari sebagian orang ‘normal’. Namun sebenarnya apakah ada manusia yang bisa dikatakan ‘normal’ Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang normal. Sebab manusia adalah makhluk yang tidak sempuma, tidak ada sesuatu pun yang sempurna di mata Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Hanya saja sebagian manusia menganggap dirinya normal karena memiliki kelebihan pada dirinya yang bisa dilihat dari luar dengan mata telanjang.
Kaum cacat khsususnya anak-anak masih tetap manusia, hanya saja mereka memiliki keterbatasan yang tingkatannya lebih besar dari sebagian orang yang merasa dirinya normal. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak mampu lagi untuk tumbuh dan mendapat predikat sebagai ‘orang normal’, bukan berarti tidak mampu lagi untuk tampil di depan podium menampilkan bakat alami dan seni yang dimilikinya.
Kecacatan tubuh sejak lahir bagi sebagian anak-anak bisa dibilang merupakan suatu hal yang biasa dan wajar, sebab mereka tentunya belum pernah merasakan perbedaan antara tubuh yang ‘lengkap’ dengan yang ‘tidak lengkap’. Mereka akan beranggapan bahwa seperti itulah tubuh mereka dan akan sama dengan teman-teman ‘normal’ mereka. Beda halnya dengan anak yang terlahir normal dan mengalami kecelakaan sehingga menjadi cacat. Anak ini akan benar- benar menyadari bahwa ada yang kurang dari diri mereka setelah tertimpa musibah.
Masyarakat sering beranggapan bahwa apabila seseorang tidak mereaksi terhadap pangilan atau tidak mendengar suara tertentu, maka orang tersebut dinyatakan sebagai tuli. Dalam keadaan sehari-hari, kita juga sering mendengar sebutan terhadap individu yang mengalami ganguan pendengaran dengan istilah-istilah : tunawicara, tuli bisu, cacat dengar, dan yang terakhir, dengan sebutan tunarungu. Pada hakekatnya penyebutan istilah-istilah tersebut tertuju pada salah satu objek belaka, yakni individu yang mengalami ganguan atau hambatan pendengaran.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang kami ajukan adalaah sebagai berikut:
1.         Apakah pengertian anak tunarungu?
2.         Apa saja yang menjadi penyebab ketunarunguan?
3.         Bagaimana klasifikasi ketunarunguan?
4.         Bagaimana Karakteristik Anak Tunarungu?
5.         Apa saja Prinsip Pembelajaran Umum dan Khusus pada Anak Tunarungu?
6.         Bagaimana Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu?
C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang kami ajukan di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui Pengertian Anak Tunarungu
2.         Untuk mengetahui penyebab ketunarunguan
3.         Untuk mengetahui klasifikasi Ketunarunguan
4.         Untuk mengetahui karakteristik anak tunarungu
5.     Untuk mengetahui prinsip pembelajaran umum dan khusus pada anak tunarungu.
6.         Untuk mengetahui pembelajaran bagi anak tunarungu……