Tag Archives: Tunanetra

Pembelajaran Bagi Anak dengan Ketunanetraan


Pembelajaran bagi anak tunanetra adalah sebaiknya berpusat pada apa, bagaimana, dan dimana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan dengan kelainannya.
Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip tentang metode khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan anak dimana pembelajaran akan dilakukan.

Pembelajaran dalam kurikulum inti yang diperluas
Terdapat dua set kebutuhan kurikulum untuk siswa tunanetra, yang pertama adalah kurikulum yang diperuntukkan untuk siswa pada umumnya dan yang kedua adalah kurikulum inti yang diperluas. Kurikulum inti yang diperluas ini misalnya terdapat keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karier. Kelemahan kurikulum inti yang diperluas ini adalah terbatasnya waktu pengajaran.
Mempergunakan prinsip-prinsip dan metode khusus
Anak tunanetra membutuhkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus mereka. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metode khusus untuk membantu mengatasi ketunanetraan, antara lain:
1. Membutuhkan pengalaman nyata
Guru perlu memberikan kesematan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya melalui ekslorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda yang ada di sekitarnya dengan menggunakan indera-indera lainnya. Bagi siswa low vision aktivitas ini merupakan tambahan bagi eksplorasi visual yang dilakukan. Media yang digunakan adalah benda-benda nyata atau model.
2. Membutuhkan pengalaman menyatukan
Dengan menggunakan pembelajaran gabungan, guru akan mengajarkan menghubungkan mata pelajaran akademis dengan dengan pengalaman kehidupan nyata. Hal ini bertujuan agar siswa dapat lebih mudah menyatukan hubungan antara konsep teori dengan praktek dalam kehiduan sehari-harinya.
3. Membutuhkan belajar sambil bekerja
Dengan memberikan kesempatan praktek terhadap siswa tunanetra, maka keterampilan siswa tunanetra dapat dikembangkan dengan lebih maksimal. Dalam kurikulum inti yang diperluas terdapat bidang seperti orientasi dan mobilitas, ini dapat dipelajari dengan lebih mudah oleh siswa tunanetra dengan pendekatan belajar sambil bekerja.
Ada beberapa hal yang dapat diberikan kepada siswa sehubungan dengan adanya kekurangan siswa dalam hal penglihatan (tunanetra). Kebutuhan-kebutuhan ini sangat membantu siswa tunanetra dalam menjalankan pendidikannya, antara lain:
a. Alat Pendidikan
1. Tunanetra (blind)
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat peraga.
a) Alat Pendidikan Khusus :
Mesin tik Braille
Printer Braille
b) Alat Bantu
Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c) Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2. Low Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari alat bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat peraga.
a) Alat Bantu Optik :
Kaca mata
Kaca mata perbesaran
Hand magnifier / kaca pembesar
b) Alat Bantu
Kertas bergaris besar
Spidol hitam
Lampu meja
Penyangga buku
c) Alat Peraga
Gambar yang diperbesar
Benda asli yang diawetkan
Patung / benda model tiruan
b. Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
1. Guru
2. Psikolog
3. Dokter mata
4. Optometris
c. Model Pendidikan
1. Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalah pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik. Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalah kurikulum yang fleksibel yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
2. Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
3. Guru Kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.

Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan


Anak-anak tunanetra kehilangan masa belajar dalam hidupnya. Anak tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan tidak mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan lingkungannya, kesulitan dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta mengalami kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang dikhawtirkan akan memberikan dampak 

Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang berfariasi. Lowenfield menggambarkan dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga area, antara lain :
1. Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar, walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.
2. Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tapi tuan netra mepunyai keterbatasan untuk melakukan gerak tersebut. Keterbatasan tersebut menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan sekitar mereka. Dengan segala keterbatasan mereka, anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan orientasi dan mobilitas
3. Interaksi dengan lingkungan
Jika seorang yang normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali keadaan ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tidak utuh
Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan  dengan mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing  
Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten . Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang tepat.
Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan kebutuhannya sehari-harnya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya apabila hal ini terjadi maka siswa akan cenderung berlaku pasif.
Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Sebagai contoh mereka sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Beberapa teori mengungkapkan bahwa anak tunanetra mengembangkan perilaku stereotip mereka akibat tidak ada rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan sebagainya.

Penyebab Tunanetra


Ketunanetraan sangat bervariasi tergantung lokasi geografis, status sosio ekonomi dan usia. Secara umum sebetulnya bisa dicegah dan diatasi, trachoma merupakan penyebab utama timbulnya kebutaan di Negara-negara berkembang. Banyak organisasi yang berhubungan dengan kesehatan mempunyai program pencegahan kebutaan. Mereka bekerja diperkampungan dan daerah-daerah kemiskinan dengan tujuan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan, kesehatan, dan akses untuk memperoleh pengobatan. Diabetes, Glaucoma, dan katarak merupakan penyebab umum kebutaan di Negara-negara barat. Hal ini terjadi karena usia harapan hidup mereka lebih panjang dari genersi sebelumnya, usia berhubungan dengan daya penglihatan.

Secara umum, ada dua faktor penyebab terjadinya tunanetra yaitu :
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain: 
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh: 
1. Gangguan waktu ibu hamil.
2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2. Post- natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan. 
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: 
1. Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll. 

Tunanetra


Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990:971) Tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra (Depdikbud, 1990: 613) artinya mata. Tunanetra berarti rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. 
Menurut Alana M. zambone, Ph.D., dalam bukunya yang berjudul Teaching Children With Visual and Additional Disabilities (Alana, 1992: 59) seseorang dikatakan buta total bila tidak mempunyai bola mata, tidak dapat membedakan terang dan gelap, tidak dapat memproses apa yang dilihat pada otaknya yang masih berfungsi.

Menurut Nakata (2003) mengemukakkan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar. Pengukuran ketajaman penglihatan dilakukan dengan mempergunakan chart internasional yang disebut eyesight-test.
Sedangkan Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”. Di pihak lain, ada orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kaca mata. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inci memuat 12 buah huruf. Akan tetapi, ini tidak boleh diartikan bahwa huruf dengan ukuran 18 point, misalnya, pada bidang selebar 1 inci memuat 18 huruf. Tidak demikian. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang ”kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan ”Low vision”.
Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kehilangan penglihatan:
1. Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan).
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur:
Ketajaman penglihatan (visual acuity)
Medan pandang (visual field).
Cara yang paling umum untuk mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan Snellen Chart yang terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya.
2. Definisi Edukasional/Fungsional 
Dua orang yang mempunyai tingkat ketajaman penglihatan yang sama dan bidang pandang yang sama belum tentu menunjukkan keberfungsian yang sama. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang ketajaman penglihatan saja tidak cukup untuk memprediksikan bagaimana orang akan berfungsi – baik secara penglihatannya maupun pada umumnya. Pengetahuan tersebut juga tidak cukup mengungkapkan tentang bagaimana orang akan menggunakan penglihatannya yang mungkin masih tersisa. Bila seseorang masih memiliki sisa penglihatan, betapapun kecilnya, akan penting bagi orang tersebut untuk belajar mempergunakannya. Hal tersebut biasanya akan mempermudah baginya untuk mengembangkan kemandirian dan pada gilirannya akan membantu meningkatkan kualitas kehidupannya.
Definisi legal biasanya juga tidak memadai untuk menunjukkan apakah seseorang akan mampu membaca tulisan cetak atau apakah dia perlu belajar Braille, mempergunakan rekaman audio (buku, surat kabar, artikel dll.) atau kombinasi media-media tersebut. Merupakan hal yang penting bahwa definisi seyogyanya memberikan indikasi yang fungsional. Dengan kata lain, definisi seyogyanya membantu kita memahami bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan orang yang bersangkutan.
Definisi edukasional mengenai ketunanetraan lebih dapat memenuhi persyaratan tersebut daripada definisi legal, dan oleh karenanya dapat menunjukkan:
a. Metode membaca dan metode pembelajaran membaca yang mana yang sebaiknya dipergunakan;
b. Alat bantu serta bahan ajar yang sebaiknya dipergunakan;
c. Kebutuhan yang berkaitan dengan orientasi dan mobilitas.
Secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.
Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan.
Seseorang dikatakan tunanetra berat (blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan atau hanya memiliki persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus menggunakan indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca” melalui pendengaran.
Seseorang dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu optik dan modifikasi lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan dan indera-indera lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print) dengan atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille atau menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung pada faktor-faktor seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya, tugas yang dihadapinya, dan karakteristik pribadinya.
Selain itu, tunanetra juga dapat dibagi berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, hal ini terbagi menjadi:
1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri. 

Makalah Tunarungu


BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Cacat tubuh merupakan suatu keterbatasan yang sangat mengganggu seperti cacat kaki (lumpuh) dan tangan, cacat mata, bisu dan tuli, dan kelainan anggota tubuh yang lain. Hal ini tentu saja menimbulkan respon negative baik dalam diri penderita maupun terhadap dan dari orang lain. Respon ini seolah menciptakan 2 (dua) dunia yang berbeda; yaitu dunia orang ‘normal’ dan dunia ‘cacat’. Tentu saja batasan-batasan yang ada menghasilkan jarak yang cukup jauh untuk terciptanya sebuah hubungan yang harmonis antara keduanya. Seolah dunia orang cacat menempati wadah yang kumuh, kotor dan sudah rusak dan dunia normal menempati tampat yang lebih ‘layak’, bersih, dan terjamin segala-galanya.
Pengkucilan ini merupakan respon negatif dari sebagian orang ‘normal’. Namun sebenarnya apakah ada manusia yang bisa dikatakan ‘normal’ Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang normal. Sebab manusia adalah makhluk yang tidak sempuma, tidak ada sesuatu pun yang sempurna di mata Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Hanya saja sebagian manusia menganggap dirinya normal karena memiliki kelebihan pada dirinya yang bisa dilihat dari luar dengan mata telanjang.
Kaum cacat khsususnya anak-anak masih tetap manusia, hanya saja mereka memiliki keterbatasan yang tingkatannya lebih besar dari sebagian orang yang merasa dirinya normal. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak mampu lagi untuk tumbuh dan mendapat predikat sebagai ‘orang normal’, bukan berarti tidak mampu lagi untuk tampil di depan podium menampilkan bakat alami dan seni yang dimilikinya.
Kecacatan tubuh sejak lahir bagi sebagian anak-anak bisa dibilang merupakan suatu hal yang biasa dan wajar, sebab mereka tentunya belum pernah merasakan perbedaan antara tubuh yang ‘lengkap’ dengan yang ‘tidak lengkap’. Mereka akan beranggapan bahwa seperti itulah tubuh mereka dan akan sama dengan teman-teman ‘normal’ mereka. Beda halnya dengan anak yang terlahir normal dan mengalami kecelakaan sehingga menjadi cacat. Anak ini akan benar- benar menyadari bahwa ada yang kurang dari diri mereka setelah tertimpa musibah.
Masyarakat sering beranggapan bahwa apabila seseorang tidak mereaksi terhadap pangilan atau tidak mendengar suara tertentu, maka orang tersebut dinyatakan sebagai tuli. Dalam keadaan sehari-hari, kita juga sering mendengar sebutan terhadap individu yang mengalami ganguan pendengaran dengan istilah-istilah : tunawicara, tuli bisu, cacat dengar, dan yang terakhir, dengan sebutan tunarungu. Pada hakekatnya penyebutan istilah-istilah tersebut tertuju pada salah satu objek belaka, yakni individu yang mengalami ganguan atau hambatan pendengaran.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang kami ajukan adalaah sebagai berikut:
1.         Apakah pengertian anak tunarungu?
2.         Apa saja yang menjadi penyebab ketunarunguan?
3.         Bagaimana klasifikasi ketunarunguan?
4.         Bagaimana Karakteristik Anak Tunarungu?
5.         Apa saja Prinsip Pembelajaran Umum dan Khusus pada Anak Tunarungu?
6.         Bagaimana Pembelajaran Bagi Anak Tunarungu?
C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang kami ajukan di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.         Untuk mengetahui Pengertian Anak Tunarungu
2.         Untuk mengetahui penyebab ketunarunguan
3.         Untuk mengetahui klasifikasi Ketunarunguan
4.         Untuk mengetahui karakteristik anak tunarungu
5.     Untuk mengetahui prinsip pembelajaran umum dan khusus pada anak tunarungu.
6.         Untuk mengetahui pembelajaran bagi anak tunarungu……